Mengapa Komoditas Berkelanjutan dan Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Forum Ekonomi Dunia, pertanian komersial di Indonesia bertanggung jawab atas 70% dari kerusakan hutan tropis yang sangat besar. Selama 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan lebih dari 74 hektar hutan hujan akibat deforestasi. Pendorong utama deforestasi adalah ekspansi lahan pertanian untuk menghasilkan komoditas ekspor seperti kelapa sawit, kedelai, dan pulpwood. Hutan seringkali dihancurkan secara ilegal untuk kepentingan industrialisasi dan pertanian skala kecil. Ini berdampak pada ekosistem dan mata pencaharian masyarakat setempat sambil juga menjadi kontribusi yang mengkhawatirkan terhadap perubahan iklim.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah deforestasi adalah melalui langkah-langkah berkelanjutan dan pembangunan. Pemerintah Indonesia telah beralih ke ekonomi yang lebih hijau dengan menerapkan kebijakan untuk membuat perubahan lingkungan. Yang juga diperlukan adalah penyelarasan untuk praktik-praktik berkelanjutan, terutama dalam pertanian dan rantai pemasaran komersial.
Supernova dan pengembangan komoditas lestari secara etis
Supernova Ecosystem didirikan oleh tim dengan pengalaman lebih dari 40 tahun di sektor swasta, pembangunan, dan pemerintahan. Salah satu kerangka kerja utamanya didasarkan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), dengan perhatian utama pada perubahan iklim. Oleh karena itu, memungkinkan komoditas berkelanjutan antara berbagai pemangku kepentingan dan agregasi rantai pasok menjadi prioritas untuk Indonesia yang lebih hijau.
Harapannya adalah menciptakan pergeseran dalam komoditas dan bisnis lokal menjadi perusahaan yang ekonomis dan berkelanjutan secara lingkungan, yang dapat berkembang dan menciptakan ekosistem yang kuat.
Inklusivitas dalam Komoditas Berkelanjutan
Di Afrika, Shea Butter, yang merupakan lemak yang diekstrak dari biji pohon Shea Afrika memiliki potensi yang tak terbatas. Di Burkina Faso, Afrika Barat, pohon Shea itu sendiri sering disebut sebagai ‘Emas Wanita’ karena, seperti namanya, membawa kekayaan yang menguntungkan dalam fungsi dan ekonomi. Biji pohon Shea dikumpulkan dan diolah menjadi Shea butter—komoditas yang melimpah digunakan sebagai sabun, kosmetik, pelembab, salep, dan losion. Butter ini juga dapat dimakan, digunakan dalam persiapan makanan atau dalam pembuatan cokelat.
Perempuan sendiri adalah penggerak dari komoditas lokal ini. Perempuan memainkan peran sentral dalam ekstraksi Shea Butter. Namun, kondisi ekonomi tidak selalu mendukung mereka karena pada suatu saat terdapat disparitas pendapatan dalam usaha mereka karena tengkulak yang mengekspor komoditas mereka menghasilkan lebih banyak. Hanya setelah adanya intervensi sosial, tengkulak dapat dilewati, dan perempuan juga dilatih dalam perdagangan untuk menghasilkan produk berkualitas lebih baik yang pada akhirnya mengembalikan rasa harga diri dan juga pendapatan mereka.
Pemberdayaan masyarakat lokal yang diciptakan melalui Shea Butter adalah contoh utama yang dapat diterapkan pada biji Illipe Indonesia—terutama karena keduanya memiliki kualitas yang serupa. Di Indonesia, di Kalimantan Barat, Tengkawang atau biji Illipe, dianggap sebagai buah dari pohon Shorea yang menghasilkan minyak lemak yang sangat bernilai. Secara tradisional, minyak ini digunakan untuk memasak, sebagai perasa makanan, atau sebagai dasar obat. Dalam industri, minyak Tengkawang juga dapat menjadi alternatif untuk lemak cokelat, produk farmasi, dan kosmetik. Bahkan, minyak ini telah mendapatkan sebutan “Green Butter”, karena dapat menjadi alternatif untuk butter konvensional.
Panen Tengkawang dilakukan secara musiman dan harus dilakukan dengan hati-hati. Seringkali ada prosesi adat yang terlibat dalam masyarakat dan pembagian kerja yang jelas. Para tetua adat menentukan kapan panen dilakukan dan siapa yang dapat terlibat—termasuk perempuan dan anak-anak. Prosesi ini juga mengatur distribusi panen yang dilakukan dengan adil dan setara.
Potensi Pertumbuhan Komoditas di Indonesia
Indonesia juga memiliki potensi dalam kekayaan komoditasnya. Komoditas berkelanjutan di Indonesia sangat beragam, termasuk di antaranya kopi, kakao, kelapa, pala, madu, dan produk non-kayu.
Kakao adalah komoditas yang sangat diminati di Indonesia. Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, pada tahun 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi biji kakao sebanyak 850.000 ton, yang merupakan peningkatan yang signifikan dari beberapa dekade sebelumnya. Namun, seiring pemerintah mendorong penerapan pajak ekspor biji kakao pada tahun 2010 dan pembangunan perkebunan di Indonesia, terjadi penurunan produksi yang cukup drastis. Penyakit mematikan yang tidak terduga memengaruhi pohon kakao, dan penurunan produksi diakui disebabkan oleh keterbatasan keterampilan petani dan keterbatasan dana untuk membuka perkebunan baru. Hal ini menyebabkan para petani beralih ke bisnis yang lebih menguntungkan seperti kelapa sawit dan situasi yang tidak menguntungkan dengan impor biji kakao.
Seperti halnya dengan kopi, kopi adalah komoditas yang sangat dicari dengan Indonesia sebagai produsen dan eksportir kopi terbesar ketiga di dunia. Indonesia memiliki sejarah panjang dalam produksi dan budaya kopi, terutama dengan iklim tropis, kopi Indonesia dapat ditemukan dari Sumatera hingga Sulawesi, Bali, Flores, dan wilayah lainnya.
Industri kopi di Indonesia—yang sering lebih menyukai produksi Robusta daripada Arabika—telah menjadi industri ekspor yang sangat besar, namun, beberapa tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan permintaan domestik. Permintaan ini memerlukan peningkatan keterampilan petani, peningkatan pertanian berskala besar, dan investasi dalam teknik panen modern untuk membangun daya saing dan keberlanjutan di pasar.
Melihat dua kasus kakao dan kopi, seperti halnya dengan komoditas lainnya, investasi dan peluang hulu sangat melimpah. Peningkatan pengetahuan, fasilitas, dan pemasaran tidak hanya akan menguntungkan ekonomi tetapi juga akan mendukung mata pencaharian.
Ditulis oleh Athina Dinda untuk Supernova Ecosystem.